Senja di Ramadhan hari itu, membawa kami ke sebuah perkampungan di kaki gunung Cikuray. Kampung Ciawaitali, namanya. Kampung yang menyimpan cerita, tentang kisah seorang nenek tua, yang tinggal di sebuah gubug reot, sendirian, bertahun-tahun. Mak Cacah, ia biasa dipanggil.

Senja itu memang cerah, tapi hati kami gerimis. Gerimis yang makin deras, melihat begitu berbinarnya mata Mak Cacah, ketika kami berikan setoples kurma untuknya. Ah, andaikan engkau ikut melihatnya. Getar hatinya yang begitu terasa, mendoakan kebaikan engkau, rezeki, hajat hidupmu. Mulutnya terus berkomat kamit, jelas doa isinya, tapi lirih yang entah apa bunnyinya. Ahh.. engaku memang belum pernah Mak Cacah temui, tapi kepedulianmu, membuatnya tak lagi sepi.

Kurma mungkin sederhana bagi kita, tapi tidak untuk mak Cacah. Manisnya tak hanya terasa di lidah, tapi juga di hatinya. Menemaninya, tiap berbuka, Bersama doa untuk dirimu.